Perempuan Muda Memaknai Toleransi

Photo by Ruben Hutabarat on Unsplash

Rofi Indar Parawansah

Islam

Karyawan/Buruh

Pangandaran

Salah satu cara untuk bisa bertoleransi adalah dengan mengetahui bahwa Indonesia bukan hanya rumah untuk satu warna. Sebagai perempuan, saya menyadari bahwa saya harus memperkuat kapasitas diri, dimulai dari bergabung dengan beberapa komunitas. Tujuannya memperkuat wawasan, mendengarkan berbagai cerita dari segala sisi. Mendengarkan pengalaman-pengalaman yang menakjubkan dari para perempuan dengan berbagai latar belakang dan belajar mengikuti jejak baiknya.

Karena perempuan secara tidak langsung bisa menjadi korban keberagaman. Perempuan masih dalam posisi sering tidak didengarkan karena dianggap tak memiliki kemampuan. Pendapatnya pun kadang diragukan.

Karena itu, untuk bisa didengar perempuan tidak cukup berdiri sendirian. Harus saling bergandengan menebarkan pesan kebaikan.

Jika bertanya lagi toleransi itu apa?

Maka saya jawab, saling menerima, merangkul dan menguatkan.

Indira Santi

Hindu

Staff Yayasan Swimdo

Gianyar-Bali

Toleransi menurut saya adalah penerimaan terhadap perbedaan-perbedaan yang ada diantara saya dan orang lain yang memiliki latar belakang berbeda.

Cara menyiasati perbedaan itu adalah dengan selalu mencari tahu, baik melalui media elektronik serta diskusi dengan teman. Tidak malu bertanya kepada teman yang kiranya bisa memberikan pemahaman lebih jelas mengenai perbedaan yang ada, atau suatu kebudayaan/kebiasaan yang belum kita mengerti.

Lilin Kurniawati

Islam ; Penghayat Kepercayaan Paguyuban Hangudi Bawana Tata Lahir Batin

Freelance

Yogyakarta

Toleransi dimaknai sebagai mampu menerima keberadaan orang lain yang berbeda dengan kita, yang harus dirasakan, dihayati, dan diterapkan di dalam diri masing-masing. Toleransi tidak akan dapat  tumbuh karena suatu keterpaksaan.

Sebagai perempuan kita bisa mewujudkan toleransi di sekitar dengan memastikan diri kita sendiri sudah menerapkan toleransi dalam kehidupan sehari-hari. Mengedukasi orang-orang di sekitar kita dengan aksi/praktik(act) langsung akan lebih  baik daripada dengan cara lisan saja.

Angelique Maria Cuaca

Katolik

Ketua Pemuda Lintas Agama (Pelita) Padang

Padang

Toleransi sejati itu ada ketika kita menerima perbedaan karena pengetahuan, bukan karena ketidakpedulian. Proses toleransi dimulai dari upaya memahami dan mengenal seutuhnya, lalu menegosiasikan perbedaan dalam keragaman agar setiap kita bisa hidup bersama dengan setara dan semartabat di dalam ruang publik. Toleransi bukan hanya soal hasil akhir dari sebuah proses, tapi upaya yang harus selalu dilakukan dan didorong terus-menerus kualitasnya.

Sebagai perempuan kita juga bisa mewujudkan toleransi di sekitar dengan langkah-langkah berikut.

Pertama, pendidikan dan praktik bertoleransi dimulai dari dalam rumah, karena keluarga adalah sekolah pertama bagi setiap anggota keluarga sebelum mereka menjadi bagian dari masyarakat luas. Perempuan bisa menjadi edukator damai bagi anaknya ataupun mediator saat terjadi gesekan di antara anggota keluarga. Oleh karenanya, penting agar perempuan berdaya, punya posisi yang setara dan semartabat di dalam rumah tangga agar bisa membangun budaya perdamaian dan toleransi sejak dari dalam rumah.

Kedua, sisterhood. Perempuan dari identitas apapun memiliki satu kesamaan yakni sama-sama menderita dibawah budaya feodal patriakal, di mana perempuan sering dianggap tidak setara dan dinomorduakan. Oleh karena penting membangun solidaritas antar perempuan lintas isu, untuk saling membantu dan menguatkan.

Syarifah Ainun Jamilah, S.Ag

Islam

Pegiat Isu Gender dan Dialog Lintas Iman

Founder Cadar Garis Lucu

Makassar

Bagi saya kata AKSEPTANSI lebih pas untuk digunakan dan dimaknai sebagai wujud toleransi aktif. Mengingat toleransi hari ini di Indonesia masih saja terus dibumbui dengan kecurigaan, prasangaka, bahkan berbagai tindakan yang sangat bertolak belakang dari toleransi itu sendiri.

Betapa tidak, toleransi hanya dimaknai sebagai upaya menghargai yang berbeda dengan membiarkan penganut di luar agamanya untuk beribadah. Sedangkan, hal tersebut merupakan kemutlakan yang memang sudah seharusnya dilakukan dan sudah dijamin oleh negara itu sendiri.

Wal hasil, toleransi menjadi pasif, hanya nampak pada kulit, tetapi tidak merasuk ke dalam pikiran setiap orang bahwa perbedaan itu adalah anugerah Tuhan yang perlu disikapi dengan lebih aktif yakni menunjukkan rasa kasih sayang di samping menghargainya sebagai sebuah keniscayaan.

Apa yang bisa dilakukan untuk mewujudkan AKSEPTANSI yang saya rasa lebih indah dibanding toleransi itu adalah menerima tanpa syarat. Mengasihi sesama dengan mengekspresikan lewat sapaan, keakraban, dan persaudaraan yang hangat antar sesama manusia tanpa mempersoalkan lagi identitas agama yang masing-masing kita anut. Melainkan, berfokus pada persamaan-persamaan yang ada, utamanya sesama manusia, sesama ciptaan Tuhan Yang Esa.